Jejak Ruhiyah dari Ponpes Al-Barokah, Cokroyasan Purworejo
Ini sepenggal cerita perjalanan hidup, dari seorang hamba yang faqir kepada rahmat Rabbnya. Satu fragmen dari perjalanan panjang jatuh dan bangun, yang penuh riang maupun air mata.
Aku dilahirkan di sebuah desa pinggiran kabupaten, di selatan kota Pekalongan. Desa yang merupakan sebuah ceruk, dikelilingi bukit-bukit pinus yang senantiasa menghijau sepanjang tahun. Kabut selalu meliputi desa kami setiap pagi, bahkan enggan beranjak hingga siang hari. Saat malam hari, serangga malam memainkan alunan syahdu menjauhkan kami dari hiruk pikuk berbagai kota yang bercahaya, sementara aku sering menyendiri memandangi bintang-bintang di langit. Ada sesuatu yang menyelinap di dalam hati.
Saat masuk SMU, aku berbaiat kepada amir Islam Jama’ah. Tetanggaku hampir seluruhnya dari kalangan Nahdhatul Ulama. Hanya beberapa yang merupakan anggota Muhammadiyah. Aku merasa nyaman saja berbeda dengan mereka, dengan kawan – kawan sebaya, bahkan saat ibadah jumat aku tidak lagi bisa bergabung di masjid jami’ bersama kaum muslimin. Kami mendirikan shalat jumat di sebuah rumah milik imam sub kelompok kami yang berasal dari Yogyakarta. Jika pemilik rumah pergi, kami yang berjumlah tak lebih dari sepuluh orang shalat jumat di pinggir hutan.
Kelas dua hingga tiga SMU aku ikut program “Generus” tingkat daerah. Sebuah pembinaan cukup intensif bagi muda – mudi Islam Jama’ah, dimana dalam waktu hampir dua tahun aku alhamdulillah dapat menyelesaikan sebagian besar tafsir Al Quran, tentunya dalam model mangkul yang menjadi ciri khas Islam Jamaah. Ada sebuah cakrawala baru terbuka dalam jiwaku, itu pula saat munculnya benih -benih cinta kepada kitab suci yang mulia ini. Semasa kecil aku suka membaca dan mendengar, mulai dari berbagai novel dan bacaan lain hingga begadang malam ahad untuk mendengarkan pagelaran wayang Ki Anom Suroto hingga subuh tiba. Tapi Al Quran ini betul-betul berbeda, kedalamannya bisa kurasakan samar – samar meskipun aku belum mengenal bahasa Arab. Dalam program ” Generus” memang diajarkan bahasa Arab, namun hanya dasarnya, itu pun pengajarnya salah seorang Ustadz dari cabang Nahdhiyin terdekat (anda heran?).
Aku melanjutkan kuliah di Bogor, IPB. Tingkat pertama berjalan baik -baik saja, pelajaran masih dapat kukejar karena berupa mata kuliah umum lanjutan pelajaran SMU. Ekslusivitas Islam Jamaah sedikit menghalangiku untuk mendapat banyak teman. Padahal, masa tingkat pertama merupakan kesempatan emas untuk keluar sore dan malam dan mencari kawan, banyak bibit idealis dan berprestasi bertaburan di berbagai rumah kontrakan dan kosan mahasiswa sekeliling kampus. Aku tidak bisa, karena minimal tiga kali dalam sepekan harus “sambung” mengaji di kelompok terdekat. Malam ahad pun diisi dengan acara pengajian, khususnya bagi muda – mudi.
Aku terduduk kuyu di hadapan Wakil Dekan. Beliau menanyakan berapa kali sehari aku makan? ( aku kurus sekali). Kegiatan selain kuliah apa saja, kenapa memutuskan untuk mengambil cuti kuliah? Tidak ada jawaban dapat kuberikan selain bahwa aku menderita sakit pernafasan, batuk sudah hampir dua bulan. Agaknya beliau bisa mengerti, padahal di dalam diriku ada rasa sedih menghimpit. Aku depresi. Ada semacam kenyataan yang sulit aku pahami dan ungkapkan, lalu seperti rasa kosong menerpa dari masa depan. Kukatakan kepada beliau bahwa saya sudah mantap pak, insyaAllah setahun berikutnya saya mengajukan aktif kembali. Beliau menghela nafas dan mengeluarkan uang seratus ribu rupiah dari dompet,” Baiklah, saya tandatangani permohonan cutimu, dan ini uang untuk berobat.”..
Aku langsung pulang ke Pekalongan. Bapak sedih campur sedikit marah. Beliau kuatir aku putus sekolah. Untuk sedikit menghibur beliau, aku berjanji setahun kemudian pasti aktif lagi, tak kuasa mengungkapkan perasaan dalam hati bahwa sebenarnya ingin pindah kuliah mengambil program studi lain. Pelajaran eksakta sangat kering. Ditambah tidak ada teman yang bisa diajak berbagi.
Beberapa hari di rumah, Bapak menanyaiku mau apa selama setahun ini? Aku menyodorkan majalah “NUANSA Persada”, lalu kutunjukkan sebuah kolom pengumuman penerimaan santri di Ponpes Al-Barokah Purworejo (Pondok Hadits Besar / Kutubusittah). Aku menunggu jawaban beliau dan tahu betul bahwa ridha Allah ada pada ridha orang tua, apapun jawaban beliau akan kuterima. Ternyata beliau mengizinkan. Aku berangkat besoknya, dengan beberapa pakaian yang sudah mulai usang . Memang sejak kecil aku tidak pernah berani minta beli baju kepada Bapak, kecuali beliau inisiatif membelikan. Apalagi sejak kelas 3 SMP aku mulai mengaji di Islam Jamaah, yang pada dasarnya beliau tidak suka, aku selalu berusaha keras menyenangkan hati beliau agar urusan mencari Sorga ini tidak terganggu. Depresi ini benar – benar di luar kemampuan dan rencanaku. Hati seperti memiliki logika sendiri ketika pikiran tidak memilikinya.
Perjalanan lewat Banjarnegara, melewati kelak – kelok jalan pegunungan, menerbitkan secercah kegembiraan. Aku harus berganti dua bus untuk sampai kota Purworejo, lalu naik angkutan umum ke Grabag. Dari Grabag ada tukang ojek yang siap mengantar penumpang sampai ke Ponpes Al-Barokah Purworejo.
Sore itu para santri sedang beristirahat. Beberapa mata memperhatikanku. Ini suasana baru yang membutuhkan adaptasi, tapi sejak awal aku menginjakkan kaki di halaman masjid hati menjadi tenang. Aku mendaftar, dan itu angkatan ke -7 sejak Ponpes tersebut berdiri. Tahun 2001. Hanya sebentar aku berbaur dan pasang telinga, ternyata ada juga kawan dari Bogor. Tiga orang, namanya Umar, Iqbal dan Sahlur. Bang Sahlur ini malah kakak kelas di IPB, 5 tahun di atasku. Alhamdulillah, segera aku betah sebetah-betahnya. Proses belajar juga lancar karena sudah terbiasa memberi makna dan keterangan pada kitab hadits. Dari ba’da subuh hingga jam sepuluh malam kami belajar, diselingi istirahat sore yang kami gunakan untuk bermain bola di lapangan empatratusan meter dari pondok. Di sebelahnya sungai, enak untuk berenang di sana.
Soal makan tak jadi soal bagiku. Mungkin bagi sebagian santri (termasuk salah satu putri amir yang juga mondok), makanan terlalu minim. Aku sih biasa makan hanya dengan sambal atau garam, alhasil kebahagiaan dalam beberapa bulan tersebut membuat fisik dan mentalku pulih.
Ada satu hal yang menarik, cukup banyak siswa/ santri merupakan muballigh yang telah selesai bertugas, sekali, dua kali bahkan lima kali. Banyak dari mereka berfikir lebih bebas, layaknya burung keluar dari sangkar pasca tugas. Memang pondok memiliki aturan yang independen, tidak terlalu terikat dengan aturan – aturan sambung sebagaimana di kelompok – kelompok biasa. Dalam obrolan di tempat makan, bahkan beberapa muballigh yang sudah makan asam garam tugasan sangat lugas mengkritisi aturan daerah tugasan yang pernah dijalaninya. Ini pondok Kutubussittah, kami sedang menelaah khazanah ilmu yang lebih luas dari “standar” pengelolaan harakah Islam Jamaah. Ada satu atau beberapa hadits yang tidak ditemui dalam himpunan, segera jadi trending topic pembicaraan sebagian santri sesudah makan malam. Bagiku sendiri, jadi berfikir musti ada kaidah – kaidah yang menjelaskan ini semua. Apalagi ketika masuk kitabul ‘ilal sunan At Tirmidzi, sebagaimana muqaddimah shahih Muslim, ternyata ada katagorisasi keshahihan hadits, belum lagi ada variasi matan hadits yang berpeluang melahirkan faidah fiqih yang bermacam – macam. Aah..rupanya aku baru sampai di depan gerbang ilmu, saat sebagian besar rukyah (rakyat) Islam Jama’ah telah dibawa kepada satu pandangan “fiqih“. Beberapa tahun kemudian aku baru faham bahwa ” fiqih” Islam Jamaah tidak menginduk pada satu madzhab yang masyhur. Mereka menafsirkan Al Quran dan Hadits – hadits dengan sebagian (sedikit saja) pendapat ulama plus bumbu “ijtihad” amir, untuk dibawa kepada kepentingan politis kelompok ini, maksudnya agar tetap eksis.
Sebelum Ramadhan banjir melanda pondok, kitab – kitab sebagian santri sampai basah. Banyak santri bersiap berangkat ke kota Kediri untuk mengikuti asrama Al Quran selama Ramadhan. Aku berangkat bersama dua kawan, seorang dari Tanjung Pinang dan satunya dari Malaysia. Salah satu kawanku ini pendekar Asad sabuk merah, jadi kami tinggal di “kamar para pendekar” di Pondok Wali Barokah. Lagi, aku kembali mendengar banyak kasus seputar para pendekar yang berkonflik dengan “orang luar”. Dalam beberapa tahun cerita semacam itu tidak mengusik keyakinanku bahwa Islam Jamaah adalah jalan tunggal menuju sorga. Beberapa kelemahan dan penyimpangan masih kufahami sebagai human error yang manusiawi. Hanya satu prinsip yang kupetik dari Purworejo, bahwa sebagai muslim kita seharusnya bebas merdeka. Supremasi hukum dan kebenaran ajaran hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala. Kesalahan dan penyimpangan hendaknya dikembalikan kepada jalur semestinya.
Baca Juga : Benarkah Abah Nurhasan Dibaiat Tahun 1941 ?
Aku tidak berfikir terlalu jauh, apalagi sampai hendak memperbaiki seluruhnya. Tahun berikutnya aku kembali aktif kuliah, banyak tafakkur dan introspeksi diri. Kucoba lebih intens membaca dan mentadaburi Al Quran, membuat jawaban dan menyaring beberapa prinsip dari selain Al Quran dan Hadits, baik dari luar maupun internal Islam Jamaah, yang seharusnya dibuang. Tashfiyah dan Tarbiyah sepertinya merupakan konsep yang menurutku pas. Alhamdulillah beberapa kawan sebaya maupun yang lebih muda mengikuti jejak mondok ke Purworejo, lalu sekembalinya ke Bogor kami melakukan studi banding ke beberapa kajian yang digelar para Ustadz lulusan Universitas Islam Madinah. Buku – buku yang diterbitkan oleh Ahlussunnah juga sudah melimpah dan kami baca, tanpa mengindahkan larangan “amir” untuk membaca “kitab karangan” semacam itu. Kami ingat pernah belajar di tepi Laut Selatan Jawa. Ombak perkasanya mengajarkan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dari jenis makhluk apapun. Penghambaan dan ketundukan hanya milik Allah ‘azza wa jalla.
Belakangan, saat bergabung dengan grup Whatsapp para mantan Islam Jamaah, ternyata ada cukup banyak alumni Ponpes Al Barokah Purworejo telah hijrah meninggalkan Islam Jamaah dan kekeliruannya. Selain kami dari daerah Bogor Selatan, ada Akhi Abu Zidan dan Abu Zubair dari Sulawesi (angkatan tahun 1999), Abu Akmal di angkatanku, juga seorang ukhti yang telah hijrah bersama suaminya, ada seorang akhi dari Cirebon, serta beberapa ikhwah asli Purworejo, Pekalongan dan dari tempat lain. Semoga banyak lainnya menyusul, mari bersama – sama mempelajari ilmu yang bersih dari ulama dan bahu membahu menyongsong kebangkitan umat.
Aktivitas kami di Bogor membuat gerah pengurus, dan pada tahun 2006 kami dipanggil oleh pusat. Singkat cerita kami dikeluarkan dari Islam Jamaah.
Tahun 2008 istriku mulai faham letak kesalahan Islam Jamaah dalam membangun ajarannya. Alhamdulillah hubungan kami dengan Bapak di Pekalongan semakin dekat, setelah batas “mukmin versus kafir” lepas dari antara kami. Dalam kesempatan liburan kami sering menyempatkan mudik ke desa, momen yang selalu kutunggu untuk mengambil waktu malam memandangi bulan purnama. Bulan di pegunungan lebih jernih dan terang, dan terasa lebih dekat.
Istriku suka bertanya, kok senang sekali melihat bulan mas? Aku hanya tersenyum. Seorang muballighot tugasan mungkin jarang mengapresiasi pemandangan indah ini. Padahal Rasulullah, shallallohu ‘alahi wa sallama dulu pernah melakukannya bersama sebagian sahabat beliau dan bersabda,
اِنّــكُمْ سَـتَرَوْنَ رَبَّـكم كـَمَا تَرَوْنَ هَذا القَمَرَ لَا تُضَامـُّوْنَ لِرُؤيَتِهِ
” Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (di sorga) seperti keadaan kalian melihat bulan ini, tanpa terhalang apapun saat melihatNya..”
Kemudian beliau, shallallohu ‘alaihi wa sallama, menyebutkan syaratnya …“Jika kalian sanggup untuk tidak terkalahkan dalam mengerjakan shalat shubuh dan asar, kerjakanlah”..
Benar. Setelah hijrah dari Islam Jamaah, lebih mudah bagi kami mendirikan shalat berjamah di masjid terdekat manapun adzan berkumandang di dalamnya…
Adam Abdullah
Bogor, awal tahun 2019.
Jokam Sejati Tidak Akan Bisa Menipu Diri Sendiri
Untuk apa Allah menurunkan agama, syariah bagi manusia? Menurut Imam Syatibi syariah bertu…
Keren 👍
Nunggu komen pemilik kunci surga…
Baru sekarang baca sampai habis. Kemarin kemarin cuma baca sekilas aja. Rikues dong detik detik diinterogasi oleh fasis burengan
mas saya teman waktu di pondok asad saya mulai belajar manhaj salaf saya sudah meninggalkan ij saya dari garut
Alhamdulillah, baarokallohu fiik… Lama tdk ketemu, semoga suatu saat bisa reunian dengan ikhwah yang pernah di Pondok Asad dan aktivis HPMB lainnya.
Mas minta nomor HP nya tolong kami ada di komplek ij ci awi mau hijrah tapi susah jual rumah nya
Kalo ponpes al barokah purworejo itu LDII bukan?