Gapailah Wahai Para Pendaki
Entah ini musyawarah yang ke berapa kali, sejak aku dimasukkan sebagai pengurus Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Bogor ( HPMB). Seperti biasa, perencanaan sebuah acara lebih butuh kepada komitmen daripada ide – ide yang muluk. Aku sendiri di Divisi Humas, menyadari bahwa skill kepemimpinan dan berorganisasi kami sebenarnya masih rendah, sehingga tidak terlalu berharap organisasi ini berkibar di luar komunitas Islam Jamaah. Tentunya ada faktor penghalang lain, yakni cara berbahasa yang berbeda antara pergaulan internal dengan saat berhubungan dengan dunia ‘luar’.
Beberapa tahun kami lalui dan sempat berhasil mengukir beberapa event, meski kecil saja. Kerjasama dengan komunitas yang lebih luas, tingkat Jabodetabek, pun kurang membuahkan hasil. Sejujurnya kami kekurangan waktu dan energi untuk membangun himpunan ini, karena padatnya jadual pengajian selain kuliah reguler yang merupakan kewajiban pokok kami.
Di Griya Mahasiswa, kajian selalu ada tiap hari ba’da shubuh. Jam tujuh pagi sebagian mahasiswa sudah memulai aktivitas perkuliahannya. Demikian berlangsung hingga sore hari. Selepas asar, bermain futsal jadi pilihan menyenangkan selain agar badan tetap bugar.
Tapi pergaulan yang cenderung terpola ekslusif memang memunculkan rasa bosan. Akhirnya, berpetualang di alam bebas di musim liburan sangat dinantikan.
Aku sendiri tidak benar – benar aktif mengikuti kawan – kawan ini mendaki gunung. Tidak seperti Nizar, Bang Emil, Kang Iik, Arif dan beberapa lainnya yang sudah menaklukkan berbagai gunung di Jawa, Sumatera, dan pulau lain. Alasannya, selain kegiatan ini membutuhkan bekal dana yang cukup besar untuk ukuranku, sebenarnya aku memiliki sedikit fobia tempat tinggi.
Kawan, mungkin kalian ingat ketika mendaki gunung Salak sekitar awal tahun 2003, saat menyeberangi “jembatan gambut yang memanjang beberapa meter dengan lebar sejengkal, sedangkan di kanan ada jurang dalam dan di kiri lebih dalam lagi – mungkin 400 meter -, aku naikkan sorban ke kepala, agar pandangan mataku hanya tertuju ke depan…
Namun pendakian puncak gunung Gede beberapa bulan berikutnya sangatlah menyenangkan, dan membekas di hati. Kami telah mempersiapkan pendakian ini sepekan sebelumnya, masing-masing telah melakukan latihan fisik yang cukup agar stamina optimal saat pendakian. Sore itu, menjelang maghrib, kami telah sampai di shelter pertama di wilayah Sukabumi. Shalat maghrib dan isya’ kami jamak. Salah satu menjadi imam, tidak lupa kami berdoa kepada Allah untuk keselamatan pendakian.
Ini pendakian yang panjang dan cukup melelahkan. Tengah malam kami baru sampai di tengah, sejam berikutnya di Jembatan Rantai. Kami tidak mengambil istirahat selama pendakian, hanya beberapa kali selama lima menit saja, sekedar melemaskan otot dan membebaskan pernafasan. Lewat jam dua dini hari kami mulai mendekati puncak, terus mendaki di sela – sela pohon cantigi yang tumbuh agak jarang. Cahaya senter berpadu dengan bulan purnama, seiring kegembiraan yang menyeruak di dada karena sebentar lagi sampai puncak gunung Gede.
Menjelang subuh sampailah kami. Angin dingin menyergap dan kami segera mendirikan tenda. Alat memasak dikeluarkan, mie direbus dan kopi diseduh. Ada waktu setengah jam untuk melihat purnama di atas awan yang mengapung di sebelah kanan. Kami di atas awan, dalam pengertian memang posisi awan – awan bergumpal ini lebih rendah, warnanya putih keemasan tertimpa temaram cahaya bulan. Di sebelah kiri kami, hanya semeter jaraknya, ada kawah gunung Gede yang dalam menganga dengan asap belerang mengepul ke atas. Sebentar kemudian fajar terbit dan Akhi Eko mengumandangkan adzan. Kami shalat shubuh berjamaah di atas dua pemandangan yang berlawanan di kiri dan di kanan, mengingatkan pada kengerian neraka dan indahnya Sorga.
*
Setelah puncak gunung Gede itu, aku tidak lagi menyertai mereka dalam pendakian – pendakian selanjutnya. Selain karena tugas akhir menanti, sedikit takut ketinggian, juga disebabkan ada pemahaman baru yang menyedot perhatianku: tentang hakekat imarah dan hubungannya dengan hakekat iman. Ini sangat penting bagiku. Takut ketinggian di puncak gunung selalu mengingatkanku bahwa kelak di akhirat seorang muslim harus melewati shirath -yang disebutkan dalam atsar bahwa itu sangat tipis – untuk bisa masuk ke dalam Sorga. Ini menyangkut keselamatan dan kejayaan yang sejati, maka aku kerahkan energi dan perhatian untuk menelusuri dan mendakinya. Ya, tidak mudah untuk keluar dari doktrin yang sangat sistematis, dimana dalam tiap kesempatan pengajian diajarkan bahwa Islam Jamaah inilah jalan tunggal menuju Sorga. Awal kecurigaan muncul setelah kami bertiga pulang dari Ponpes Al Barokah Purworejo, lalu berkesempatan mengisi kajian ba’da shubuh di Griya. Materi yang kami pilih kitab Shahih Muslim, dari kitabul iman di juz pertama. Agaknya kecurigaanku berlanjut menjadi aktivitas hunting buku di toko buku Gudang Buku fakultasku, Gramedia, Gunung Agung dan kunjungan ke perpustakaan kampus Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Qadarullah, salah seorang kawan kuliah satu dosen pembimbing menarik perhatianku. Dia selalu istiqamah shalat berjamaah di kampus, baik waktu zhuhur maupun ‘ashar.
Dia selalu percaya diri mengenakan gamis pakistan saat kuliah. Kami lalu mengobrol dan menjadi akrab. Bukan semata penampilan dan jenggotnya yang membuatku tertarik, namun karena pada akhirnya dia mengajakku ke perpustakaan mahasiswa salafiyyun di sebuah rumah kontrakan, lalu ke sebuah ma’had agak dekat dengan kampus.
Ya, butuh waktu dan perjuangan untuk memahami cahaya kebenaran, di tengah bermacam – macam warna kelompok Islam dan pemikirannya. Jika kami hanya menjadi campers, beristirahat lama tengah pendakian, barangkali terlambat sampai puncak dan tak dapat menyaksikan pemandangan yang luar biasa itu, atau bahkan tak pernah sampai sama sekali. Lemahnya semangat bisa menyurutkan langkah dan membuat kita membatalkan pendakian.
Namun kau kawan, jika bertekad baja, puncak gunung Gede akan memuaskanmu. Kau bisa melihat terbitnya matahari, lalu panorama seluruh penjuru terbuka di hadapanmu. Setelah menghirup udara segar di pagi hari, kau dapat turun dengan riang gembira, berjalan cepat di sela – sela pohon cantigi, lalu sampai di hamparan luas Suryakencana seratus meter di bawah puncak, tempat rumput menghijau dihiasi bunga edelweis yang tumbuh di sana – sini.
Perjalanan turun gunung lebih ringan karena tidak melawan gravitasi bumi. Agaknya, inilah kaidah yang harus kita pegang dalam mengarungi kehidupan. Kita harus mengambil jalan yang menanjak ( di dunia), agar kelak dimudahkan di akhirat.
Allah tabaraka wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.
Atau memberi makan pada hari kelaparan.
(Kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.
Atau orang miskin yang sangat fakir.
Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang…”( Surah al Balad, ayat 11 sampai 17).
Wahai kawan, itulah sebagian sifat golongan kanan. Sudah sekian tahun kita dipisahkan oleh ajaran takfiri, semoga suatu saat dapat berkumpul dalam rahmat Allah tabaraka wa ta’ala dengan seluruh muslimin, sebagai orang yang merdeka tanpa belenggu taqlid buta di leher kita…
Oleh Adam Abu Abdirrahman,
Bogor, awal 2019.
Jokam Sejati Tidak Akan Bisa Menipu Diri Sendiri
Untuk apa Allah menurunkan agama, syariah bagi manusia? Menurut Imam Syatibi syariah bertu…