Beginilah Nasib Para “Bunglon” (2)
Kembali kami mohon maaf karena menggunakan istilah “bunglon” ini. Sejatinya mereka adalah muslim yang baik, namun keadaan tidak memungkinkan bagi mereka untuk melepaskan diri secara total dari Islam Jamaah. Ada satu harapan dan doa yang terus dipanjatkan : semoga Amir Islam Jamaah segera menyadari kekeliruan, lalu menyerukan hijrah dari kesesatan.
Usaha untuk memperbaiki IJ dari level Pusat terus dilakukan, hingga pada tanggal 3 April 2019 lalu para mantan PB (Pakubumi) kembali melakukan tabayyun dengan Pusat, menjelaskan berbagai kesalahan IJ diantaranya: faham takfiri, tidak mau shalat bermakmum dengan muslimin di luar IJ, Surat Taubat, dan beberapa point lainnya. Namun, berita yang sampai kepada kami, Amir IJ menyerahkan hasil musyawarah kepada suara terbanyak. Hasilnya tidak banyak berubah dari kondisi sebelumnya, yaitu mereka belum mau meniti jalan Ahlussunnah.
Ini berita yang membuat kami dan saudara-saudara kami para “bunglon” bersedih sekaligus gemas. Mengapa nasib orang banyak tidak diserahkan kepada kapasitas keilmuan, namun justru diserahkan kepada voting ala demokrasi?
Selama ini Islam Jamaah berpendirian bahwa amir mereka hanyalah mengurusi agama, oleh karenanya mereka mengklaim selalu memutuskan berbagai perbedaan pendapat kepada Allah dan RasulNya, berdalil dengan Al Quranul karim:
٠٠٠٠ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَ الْيَوْمِ الْاٰخِرِ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَ اَحْسَنُ تـَأْوِيْلاً
“….Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’ 59)
Apa yang terjadi saat Tabayyun? kali ini yang terjadi bukannya mengembalikan keputusan kepada Al Quran dan Assunnah, ilmu dan ahlinya, namun kepada suara terbanyak. Ada beberapa catatan kami terhadap “insiden” ini.
Pertama, memang itulah yang selama ini sering terjadi di internal Islam Jamaah. Keputusan musyawarah ala demokrasi di dalam keputusan – keputusan berkaitan dengan agama sering terjadi, dan semuanya berujung kepada fanatisme kelompok dan semakin jauh dari “kemurnian agama” yang tetap mereka klaim. Kedua, agaknya kapasitas keilmuan para PB tidak mereka akui. Dalam kondisi saat itu, mengapa para PB tidak menggandeng para ulama yang jauh lebih mumpuni, senior, serta berpengalaman untuk ikut duduk bersama dalam tabayyun? Jawabannya jelas: Pusat tidak akan mau duduk bersama “orang luar” bagaimanapun berilmu dan bertaqwanya orang tersebut. Yang dikehendaki oleh IJ bukan ilmu serta petunjuk menuju jalan yang lurus, namun sekedar mempertahankan eksistensi “keamiran” mereka. Ketiga, mungkin saat ini sudah waktunya bagi ikhwah kami para “bunglon” untuk mencari jalan keluar sendiri. Banyak majlis ta’lim di luar dengan Ustadz yang mumpuni ilmunya bisa mereka datangi, sehingga aqidah, manhaj dan amal mereka menjadi lurus dan benar. Jika mengandalkan perbaikan dari dalam – dengan tetap berhusnuzhon billah perbaikan semacam itu tetap ada hasilnya – maka tidak ada kepastian kapan perubahan nyata itu akan terjadi..
Allahu a’lam bishawab.
Jokam Sejati Tidak Akan Bisa Menipu Diri Sendiri
Untuk apa Allah menurunkan agama, syariah bagi manusia? Menurut Imam Syatibi syariah bertu…